Hanin -bukan nama sebenarnya- adalah seorang gadis yang masih muda belia
dan merupakan anak satu-satunya bagi kedua orang tuanya. Dia lahir ke
dunia setelah masa-masa mandul selama sepuluh tahun. Sepanjang itu, sang
bapak dan ibu merasakan ketiadaan anak. Pandangan masyarakat yang sinis
membunuh hati sang ibu dan berbagai perasaan putus asa mengebirinya.
Sang bapak mendambakan bisa melihat keturunannya, meski dia sudah
termakan usia. Sedangkan sang ibu mendambakan agar dikarunia sesuatu
yang bisa menjaga dan menutupi aibnya.
Namun, hari dari demi
hari dan tahun demi tahun berlalu, tapi kondisi pun tetap kritis. Maka,
tidak ada lagi harapan dari segi medis maupun pihak dokter. Dia hanya
bisa bergantung kepada Allah SWT. Allah pun menghendaki dia membaca
berita di salah satu koran tentang perkembangan baru dalam dunia
kedokteran, khususnya tentang masalah kemandulan di salah satu negara
Eropa. Maka, dia pun mengemasi koper dan berpamitan pada keluarga dan
orang-orang tercinta. Dia mengikuti pengobatan intensif sepanjang bulan
untuk menjalani beberapa pemeriksaan dan eksperimen sampai akhirnya bisa
melahirkan bayi.
Dia pun pulang membawa bayinya kepada
keluarganya dan keluarga suaminya di saat semuanya larut dalam
kegembiraan dan kebahagiaan. Kesedihan pun berubah menjelma menjadi
kebahagiaan. Semua itu terjadi pada malam hari raya.
Bocah ini
pun tumbuh dewasa dan menjadi pusat perhatian semuanya. Sementara
tahun-tahun berlalu begitu cepat sampai anak ini pun melanjutkan studi
di perguruan tinggi untuk mejadi seorang guru agar dapat memenuhi
obsesinya dan menjadi elemen yang baik di tengah masyarakat. Dia pun
berhasil meraih ijazah gelar sarjana dan lulus di saat banyak orang
malah terancam Drop Out (DO). Dia duduk di rumah sepanjang musim kemarau
sambil menanti surat panggilan kerja. Sungguh, kebahagiaan telah
mengetuk pintunya sewaktu dia menerima surat panggilan kerja. Malam
harinya, dia pun tidak bisa tidur karena saking gembiranya.
Pada
pagi harinya, dia berangkat ke tempat tujuan untuk mengetahui tempat
kerjanya dengan didampingi kedua orangtuanya. Akan tetapi, serasa belum
lengkap kegembiraan itu, tiba-tiba dia merasa bumi bergetar di bawah
kedua telapak kakinya mengamcamkan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Dia
tahu benar bahwa dia bakal bekerja di salah satu pemukiman yang
berjarak 250 km dari kota tinggalnya, dengan melewati jalan-jalan yang
dikelilingi banyak mara-bahaya. Sang bapak pulang ke rumahnya sedang
kesedihan senantiasa menyelimutinya. Dia merasa telah berjalan menentang
arus dan berjalan di balik prasangka, tapi dia tidak menuai selain
fatamorgana.
Malam harinya, dia tidak bisa tidur. Dia
dipusingkan oleh pikiran, apakah harus mencegah putri dan anak semata
wayangnya itu untuk menerima pekerjaan itu.? Apakah dia harus memaksanya
untuk tetap di rumah karena menjaga kehidupannya padahal dia lahir
setelah mengalami masa-masa gersang (mandul).?
Putrinya
bersimpuh di depannya sambil menangis, menjerit dan memohon kepadanya
agar hatinya luluh, “Ayahanda, jangan engkau tolak pekerjaanku sebagai
kesempatan yang barangkali takkan terulang lagi untuk selamanya.”
Sang
bapak yang malang ini pun menjawab, “Kamu adalah kesempatan umurku yang
takkan terulang lagi untuk kedua kalinya…lalu bagaimana aku
menyia-nyiakanmu dengan begitu mudah.?”
Di hadapan permohonan
sang anak dan ibunya, sang bapak pun menyerah dan dengan terpaksa dia
sepakat. Setiap hari, sang putri menumpang bus bersama teman-teman
wanitanya menempuh jarak yang tidak kurang dari 6 jam pulang dan pergi,
hingga ketika sudah kembali ke rumahnya seolah-olah tulang-tulangnya
remuk redam akibat kelelahan.
Usia sang putri sudah menginjak
dewasa dan telah menjadi mempelai cantik yang menantikan seorang lelaki
yang akan mengetuk pintu hatinya dan menjadi pendamping hidupnya nanti,
agar mereka bisa bersama-sama membangun mahligai rumah tangga. Akhirnya,
salah seorang kerabatnya yang bekerja sebagai arsitektur di salah satu
perusahaan meminangnya. Tanpa berpikir panjang, dia pun langsung
menerimanya. Pada saat itu, dia sudah mendekati usia perawan tua dan
bisa saja terlambat menikah.
Masa pertunangan dan akad nikah pun
sudah berjalan setahun. Di sela-sela itu, mereka mempersiapkan
perangkat rumah tangga dan menentukan liburan panjang untuk
melangsungkan pernikahan, mengingat ada banyak waktu di masa-masa itu
untuk menyelami kebahagiaan dan ketenangan.
Hari demi hari terus
berjalan, sedang dia selalu merasakan sukarnya jalan dan kepenatan
perjalanan sehari-hari yang menyita seluruh waktunya. Akan tetapi, dia
tetap menahan, merasakan dan menyembunyikan banyak hal yang dialaminya
dari keluarganya, setelah terlihat senyuman dingin pada kedua bibirnya.
Satu tahun hampir usai, ketika mulai fase ujian akhir tahan. Itulah
hari-hari di mana dia merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam bahtera
rumah tangganya.
Pada hari yang ditentukan, seperti biasanya
dia pun menumpang bus, lalu bus membawanya memutari kota hingga penuh
para guru wanita dan bus pun menuju jalan tol… Laju bus semakin kencang
dan akibatnya dari sisi bus keluar goncangan dan suara aneh yang mungkin
diakibatkan kurang terawatnya bus. Sopir merasa bangga dengan
kecepatannya dan dia pun miring ke kanan dan ke kiri. Semua penumpang
menentang dan memintanya untuk mengontrol dirinya, tapi sopir itu malah
menimpali, “Sobat, aku begini karena cepatnya waktu.” Sang sopir pun
meneruskan nafsu dan keterburu-buruannya meski jalanan sempit dan banyak
turunan dan tanjakan.
Di tengah-tengah laju perjalanannya itu,
dia menghindari mobil yang pertama dan berjalan seperti kilat.
Tiba-tiba, trotoar terbelah oleh truk yang muncul bagaikan momok. Sopir
berusaha menghindar dan berkelit darinya, tapi keseimbangan mobil
hilang, maka bus pun terperosok ke dasar jurang dan membentur salah satu
batu besar untuk mengantarkan seluruh penumpangnya menjadi mayat-mayat
beku yang bergelimpangan dan sang pengantin pun tewas di malam
perkawinannya.”
(SUMBER: Serial Kisah Teladan -Kumpulan
Kisah-Kisah Nyata- karya Muhammad bin Shalih al-Qahthani, hal. 35-39,
juz II, seperti dinukilnya dari Dima’ ‘Ala ath-Thariq karya Shalah Salim
Baduwailan, penerbit DARUL HAQ, Telp.021-4701616 dengan sedikit
perubahan redaksi)
(Ilmu Warisan Leluhur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar