Sebenarnya kisah ini berupa berita yang dipublikasikan di salah satu
situs Islam berbahasa Arab terkemuka, namun karena sifat berita yang
paling tidak, harus terus diup-date setiap hari sementara kisah ini
penting untuk dijadikan pelajaran dan renungan kita, maka kami memuatnya
dalam versi kisah islami sehingga dapat ditampilkan untuk beberapa
lama.
Sebuah kisah tewasnya seorang anggota kelompok perlawanan
Islam, di Iraq (al-Muqaawamah al-Islaamiyyah) yang menunjukkan masih
adanya kelompok perlawanan yang benar-benar murni berjuang dan berjihad
untuk meninggikan Kalimatullah dan membuka mata kita lebar-lebar betapa
dengki dan dendamnya musuh-musuh Islam.
Kisah seorang syahid
yang berasal dari Arab Saudi, namanya Sa’id, kelahiran tahun 1975. Ia
dijuluki rekan-rekan seperjuangannya dari warga asli Iraq dengan Abu
Samrah. Dan sejak itu, ia bangga dan lebih senang dipanggil dengan
julukan itu ketimbang nama aslinya.
Sebenarnya, Abu Samrah ini
seorang yang hidup berkecukupan di negerinya. Maklum, sebagai warga
negara Arab Saudi tentulah kehidupan sosialnya jauh lebih baik daripada
saudara-saudaranya di Iraq yang hidup memprihatinkan karena dilanda
peperangan dan sekarang ini masih terjajah. Ia ingin memberikan pesan
kepada saudara-saudaranya, rakyat Iraq bahwa dien Muhammad adalah amanah
yang bukan hanya diembankan ke atas pundak orang-orang Iraq saja tetapi
juga ke atas kaum Muslimin selain mereka.
Ia terpanggil untuk
berjihad membela agama Allah sekali pun sebelumnya tidak pernah
mengikuti latihan militer apa pun yang seyogyanya dimiliki oleh orang
yang ingin memasuki medan perang.
Menurut penuturan Syaikh
‘Awad, salah seorang pemimpin kelompok perlawanan, Sa’id menolak untuk
bergabung dengan kelompok mana pun di Iraq yang di mata publik Iraq
masih mengundang pro dan kontra. Dalam kesehariannya, ia dikenal sebagai
seorang yang suka bercanda, banyak menghibur rekan-rekan
seperjuangannya, memiliki ghirah yang tinggi dan tak rela kehormatan
kaum Muslimin diinjak-injak. Setiap kali ia melihat bangunan dan
rumah-rumah yang tinggi di kawasan Ramadi, ia selalu berhasrat untuk
naik ke loteng-loteng rumah tersebut lalu dari situ, ia akan menjadi
snipper dengan membidik 40 orang Amerika setiap harinya andaikata bukan
karena khawatir tentara pendudukan Amerika akan menggeledah rumah-rumah
penduduk di situ, melecehkan kehormatan kaum wanitanya dan menerobos
masuk ke dalam rumah-rumah mereka. Karena kekhawatirannya itu, ia malah
menolak untuk menyerang tentara pendudukan bila mereka masih berada di
lorong-lorong dan di jalan-jalan padahal sangat memungkinkan sekali
baginya untuk menimbulkan korban yang lebih banyak di pihak tentara
pendudukan tersebut. Ia pernah berkata, “Bagi saya, kehormatan
wanita-wanita Saudi tidak lebih mahal dari kehormatan wanita-wanita
Iraq, sebab mereka semua adalah Muslimat dan semuanya adalah
saudara-saudara kita di dalam dienullah.
Syaikh ‘’Awad
menuturkan bahwa pada malam sebelum Abu Samrah gugur sebagai syahid, ia
betul-betul telah memperlihatkan perjuangan yang tulus dan begitu gagah
di medan pertempuran. Karena itu, beliau dan rekan-rekan seperjuangannya
begitu yakin bahwa ia akan meninggalkan mereka malam itu untuk
selama-lamanya.
Pada malam syahidnya itu, ia bergerak maju
padahal tentara pendudukan sudah menarik mundur pasukannya. Ini ia
lakukan untuk membuka celah sehingga para mujahidin dapat mematahkan
kekuatan musuh secara total di dekat rumah sakit Ramadi, yang letaknya
agak jauh dari kota di bagian utara. Ternyata, hari itu adalah hari
terakhir ia bertemu dengan para rekan seperjuangannya. Sebuah tembakan
mengenai dadanya dan ia pun jatuh tersungkur dengan posisi masih
memegang senjata seraya mengucapkan, “Semoga jual beli ini mendapat
keuntungan, semoga perjalanan ini mendapat keuntungan. Alhamdulillah, Ya
Allah, pertemukanlah aku dengan saudara-saudaraku, Ya Allah, aku
titipkan pada-Mu orang-orang yang aku tinggalkan di rumah-rumahku sebab
aku hanya keluar demi-Mu, bukan demi siapa-siapa.”
Syaikh ‘Awad
menambahkan, “Sekali pun tembakan yang dialaminya cukup parah, tetapi
suaranya ketika mengucapkan itu sangat jelas terdengar. Kami menyaksikan
dan mendengarkannya hingga saat-saat terakhir ajal menjemputnya, hanya
saja tidak dapat mendekat lebih dekat lagi karena tentara pendudukan
berhasil naik ke lokasi-lokasi yang tinggi dan mulai menembaki dari
sebagai sniper. Untung saja, kami berhasil membawa lari empat orang
rekan kami lainnya yang juga gugur sebagai syuhada. Sementara tentara
pendudukan itu menyongsong jasadnya yang sudah terlentang dan melakun
mutilasi terhadap jasanya lalu melemparnya ke badan jalan. Abu Asmar
sang pahlawan turun dari kudanya dengan berjalan kaki setelah datang
dari negeri tempat turunnya wahyu. Orang-orang Amerika dan sekutu mereka
kemudian memperlakukan jasadnya dengan cara yang belum pernah dilakukan
terhadap siapa pun sebelum itu. Ini menjelaskan kepada kita betapa
kedengkian orang-orang Amerika terhadapnya.”
Yah, tentara
pendudukan itu telah melakukan mutilasi terhadap jasadnya. Berdasarkan
penjelasan dan kesaksian salah seorang dokter di rumah sakit umum Ramadi
sebelum jasad Abu Samrah dikuburkan, bahwa menemukan jasad seorang
warga negara Arab Saudi yang gugur dalam kontak senjata dengan tentara
pendudukan seminggu lalu (hari selasa lalu, 08-03-2005), ia mendapati
dadanya sudah tersobek menganga, ususnya terburai keluar, beberapa
tusukan dalam mengenai lambungnya. Tusukan ini jelas berasal dari mata
tombak. Demikian pula, mutilasi juga dilakukan terhadap bagian bawah
pusarnya di mana anggota kemaluannya dilobangi dengan cara yang
mengenaskan sekali, yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Kepalanya juga dipukul dengan tombak dan alat-alat yang terbuat dari
besi. Di kepalanya terdapat beberapa bekas bakar akibat letupan moncong
senjata api yang ditembakkan ke tubuhnya. Selain itu, terdapat pula
tulisan di atas dadanya yang digores dengan menggunakan mata tombak yang
tajam. Tulisan tersebut berbahasa inggeris yang artinya kurang lebih
‘Tidak akan ada lagi orang yang berani setelah anda.’
Dokter
tersebut mengatakan bahwa ia sudah menjahit perut dan dada jasad Abu
Samrah tersebut atas permintaan rekan-rekan seperjuangannya.
Syaikh
‘Awad mengakhiri kisah sang pejuang, “Beliau rahimahullah dikuburkan
setelah sebelumnya beberapa potongan anggota badannya yang robek oleh
tombak musuh kami kumpulkan terlebih dahulu. Seakan kami menguburkan
umat secara keseluruhan. Sa’id masuk dalam rombongan para syuhada.
Semoga, mata para pengecut tidak akan pernah terlelap lagi.”
(Sumber: sebuah situs islam berbahasa Arab, tertanggal 14-03-2005)
(Ilmu Warisan Leluhur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar