Terkait dengan tema ‘mukjizat ilmiah’, khususnya mukjizat ilmiah
al-Qur’an, kiranya pembaca dapat membaca artikel pada rubrik tafsir,
sesi: Pengantar Ilmu Tafsir Dan al-Qur’an dengan tema: Kemukjizatan
al-Qur’an
(http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatquran&id=43)
sehingga lebih memahami hakikat dan urgensi mukjizat ilmiah ini dan
bagaimana seharusnya bersikap-red.
Rasulullah SAW bersabda,
“Tutuplah belanga (tempat makanan) dan tempayan (tempat air) sebab dalam
setahun itu ada suatu malam di mana penyakit (wabah) akan turun.
Tidaklah ia melewati belanga atau tempayan yang tidak ditutup melainkan
turun padanya penyakit (wabah) tersebut.” (HR.Muslim)
Bukti Ilmiah
Kedokteran
modern telah menetapkan bahwa Nabi SAW adalah peletak pertama konsep
menjaga kesehatan sebagai antisipasi atas berjangkitnya wabah dan
penyakit menular.
Ternyata telah terbukti bahwa memang
penyakit-penyakit menular itu beraktifitas pada musim-musim tertentu
dalam setahun. Bahkan, sebagiannya muncul setiap mencapai jumlah
tertentu dalam beberapa tahun dan sesuai dengan sistem kerja yang
demikian detail sehingga hingga kini belum diketahui apa penyebabnya.
Di
antara contohnya adalah masalah kesuburan dan kelumpuhan pada anak yang
banyak terjadi pada bulan September dan Oktober. Tifus banyak terjadi
pada musim panas, kolera terjadi setiap tujuh tahun sekali dan gondok
setiap tiga tahun sekali.
Hal ini merupakan penafsiran dari
mukjizat ilmiah dalam ucapan Rasulullah SAW, “Dalam setahun itu ada
suatu malam di mana penyakit (wabah) akan turun,” yakni wabah-wabah
musiman yang memiliki waktu-waktu tertentu.
Demikian pula,
Rasulullah SAW telah menyiratkan akan cara paling penting dalam
menghindari penyakit (tindakan preventif) dalam sabdanya yang lain,
“Hindarilah debu sebab di dalamnya terdapat bakteri.”
Di antara
hakikat ilmiah yang belum dikenal kecuali setelah ditemukannya alat
pembesar ‘mikroskop’ menyatakan bahwa sebagian penyakit menular
berpindah melalui hujan ringan (rintik-rintik), tepatnya melalui udara
yang terkontaminasi oleh debu sebagaimana bunyi hadits tersebut yang
menggunakan lafazh “adz-Dzarr” (debu). Bakteri selalu terkait dengan
butiran-butiran debu ketika ia dibawa oleh angin dan melalui proses itu
sampailah ia dari si sakit kepada orang yang sehat.
Penamaan
‘bakteri’ (mikroba) yang dalam bahasa Arabnya (dalam teks hadits)
menggunakan kata “Nasamah” merupakan penamaan yang sangat tepat. Hal ini
telah dijelaskan seorang ahli bahasa bernama Fairuz Abady di dalam
kamus “al-Muhiith” bahwa ia (kata Nasamah) diucapkan terhadap hewan
paling kecil. Tentunya, tidak asing lagi bahwa bakteri memiliki sifat
gerak dan hidup.
Adapun penamaan bakteri (Mikruub) di dalam tata
bahasa Arab dengan kata “Jurtsuum” adalah penamaan yang tidak tepat
dengan namanya sebab bila dikatakan “Jurtsuumatu kulli syai`in” artinya
asalnya (segala sesuatu); maka termasuk juga serbuk kayu.
Di sinilah letak mukjizat kedokteran yang dibawa Rasulullah SAW. Wallahu a’lam.
(Sumber:
kitab al-I’jaaz al-‘Ilmy Fi al-Islam Wa as-Sunnah an-Nabawiyyah karya
Muhammad Kamil ‘Abd ash-Shamad, sebagai yang redaksi nukil dari salah
satu situs yang berkompeten tentang mukjizat ilmiah)
(Ilmu Warisan Leluhur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar