Raden Wijaya adalah Pendiri sekaligus Raja Majapahit yang pertama. Raden
Wijaya dinobatkan pada bulan Kartika tahun 1215 saka, yaitu 12 Nopember
1293 dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Ia juga dikenal dengan
nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya menurut Kidung Harsa Wijaya.
Raden
Wijaya adalah anak Rakeyan Jayadarma, raja ke-26 dari Kerajaan Sunda
Galuh , dan Dyah Lembu Tal, seorang putri Singhasari. Dengan demikian,
Raden Wijaya merupakan keturunan langsung dari Wangsa Rajasa, yaitu
dinasti pendiri Kerajaan Singhasari. Ken Arok, Raja pertama Singhasari
(1222-1227) memiliki anak Mahesa Wong Ateleng dari Ken Dedes. Mahesa
Wong Ateleng memiliki anak Mahesa Cempaka bergelar Narasinghamurti.
Menurut
Nagarakretagama, Mahesa Cempaka memiliki anak Dyah lembu Tal yang
diberi gelar Dyah Singhamurti dan kemudian menurunkan Raden Wijaya.
Ibukota
kerajaan Majapahit meliputi Kecamatan Sooko, Trowulan dan Jatirejo di
Kabupaten Mojokerto dan kecamatan Mojoagung, Mojowarno serta Sumobito di
Kabupaten Jombang. Kawasan ini berada pada luas 10 X 10 kilometer
persegi.
Versi lain yang menyebut 9 X 11 kilometer persegi. Pusat
kota ini berada di dalam kawasan ibukota dan lokasinya kini berada di
Trowulan. Situs-situs yang memperkuat ilustrasi pusat kota ini antara
lain Candi Muteran, Candi Gentong, Candi Tengah, tempat kediaman Gajah
Mada, kediaman kerabat kaum raja dan tempat pemandian para putri
kerajaan.
Rakeyan Jayadarma adalah raja ke-26 Kerajaan Sunda
Galuh, anak dari Prabu Guru Dharmadiksa, raja ke-25 dari Kerajaan Sunda
Galuh. Setelah Rakeyan Jayadarma tewas diracun oleh salah seorang
bawahannya, Dyah Lembu Tal kembali ke Singhasari bersama Raden Wijaya.
Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut sebagai Jaka Susuruh dari
Pajajaran. Ia dibesarkan di lingkungan kerajaan Singhasari.
Kakawin Nagarakretagama mencatat Raden Wijaya memperistri empat orang putri raja Kertanegara :
Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari.
Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā.
Śri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnyāparamitā
Sri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri.
Śri
Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari: Sri Parameswari Dyah Dewi
Tribhuwaneswari adalah permaisuri Raden Wijaya. Dalam Nagarakretagama
Tribhuwaneswari sering disingkat Tribhuwana saja. Ia putri sulung
Kertanagara raja terakhir Singhasari. Dikisahkan pada saat Singhasari
runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya
sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari, sedangkan Gayatri ditawan musuh.
Rombongan
Raden Wijaya menyeberang ke Sumenep meminta perlindungan Arya Wiraraja.
Dalam perjalanan menuju Sumenep, Tribhuwaneswari sering dibantu oleh
Lembu Sora, abdi setia Raden Wijaya Raden Wijaya. Jika pasangan suami
istri tersebut letih, Lembu Sora menyediakan perutnya sebagai alas
duduk. Jika menyeberang rawa-rawa Lembu Sora, menyediakan diri
menggendong Tribhuwana.
Raden Wijaya kemudian bersekutu dengan
Arya Wiraraja untuk menjatuhkan Jayakatwang. Ketika Raden Wijaya
berangkat ke Kadiri pura-pura menyerah pada Jayakatwang, Tribhuwana
ditinggal di Sumenep. Baru setelah Raden Wijaya mendapatkan hutan Terik
untuk dibuka menjadi desa Majapahit , Tribhuwana datang dengan diantar
Ranggalawe putra Arya Wiraraja. Berita ini terdapat dalam Kidung Panji
Wijayakarama.
Sepeninggal pasukan Mongol tahun 1293, Kerajaan
Majapahit didirikan Raden Wijaya sebagai raja pertama. Tribhuwana
menjadi permaisuri utama selaras gelar Tribhuwana-iswari. Namun
Pararaton menyebut bahwa ada istri Raden Wijaya yang dituakan di istana
bernama Dara Petak putri dari Kerajaan Dharmasraya, yang melahirkan
Jayanagara sang putra Mahkota.
Menurut prasasti Kertarajasa
(1305), Tribhuwaneswari disebut sebagai ibu Jayanagara, maka Jayanagara
adalah anak kandung Dara Petak yang kemudian menjadi anak angkat
Tribhuwaneswari sang permaisuri utama. Hal ini menyebabkan Jayanagara
mendapat hak atas takhta sehingga kemudian menjadi raja kedua Majapahit
tahun 1309-132. Setelah Wafat Tribhuwaneswari dimuliakan di Candi Rimbi
di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.
Śri
Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā: Sri Mahadewi Dyah Dewi
Narendraduhita, atau disebut dengan Narendraduhita, adalah putri ketiga
dari Raja Singhasari Kertanagara, dan merupakan istri kedua dari pendiri
Majapahit, Raden Wijaya, namun tidak memberikan keturunan.
Sri
Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita: Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña
Paramita atau sering disingkat dengan nama Prajña Paramita atau Pradnya
Paramita adalah putri keempat dari Raja Kertanegara dan merupakan istri
ketiga dari Raden Wijaya, namun tidak memberikan keturunan. Disebutkan
bahwa Pradjnya Paramita adalah istri yang paling setia diantara kelima
istri Raden Wijaya
Gayatri atau Rajapatni adalah istri ke empat
dari Raden Wijaya, dari Gayatri lahir Tribhuwanatunggadewi dan Rajadewi.
Tribhuwanatunggadewi inilah menurunkan raja-raja Majapahit selanjutnya.
Pada saat Singhasari runtuh akibat serangan Jayakatwang tahun 1292,
Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari saja, sedangkan
Gayatri ditawan musuh di Kadiri. Setelah Raden Wijaya pura-pura menyerah
pada Jayakatwang, baru ia bisa bertemu Gayatri kembali.
Nagarakretagama
pupuh 2/1 menguraikan bahwa putri Gayatri (Rajapatni) wafat tahun 1350
pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. 12 tahun setelah meninggalnya
Gayatri dilaksanakan upacara srada dan dimuliakan candi di candi
Boyolangu di desa Kamal Pandak tahun 1362 dengan nama Prajnyaparamita
puri. Baik tanah candi maupun arcanya diberkati oleh pendeta Jnyanawidi.
Dara
Pethak (Indreswari): Menurut Pararaton, sepuluh hari setelah pengusiran
pasukan Mongol oleh pihak Majapahit, datang pasukan Kebo Anabrang yang
pada tahun 1275 dikirim Kertanegara menaklukkan Pulau Sumatra. Pasukan
tersebut membawa dua orang putri Mauliwarmadewa dari Kerajaan
Dharmasraya bernama Dara Jingga dan Dara Petak sebagai persembahan untuk
Kertanegara.
Nama Dara Pethak berarti merpati putih. Menurut
Kronik Cina, pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese meninggalkan Jawa
tanggal 24 April 1293, sehingga dapat diperkirakan pertemuan antara
Raden Wijaya dan Dara Petak terjadi tanggal 4 Mei 1293. Karena
Kertanegara sudah meninggal, maka ahli warisnya, yaitu Raden Wijaya
mengambil Dara Petak sebagai istri, sedang Dara Jingga diserahkan kepada
Adwayabrahma , seorang pejabat Singhasari yang dulu dikirim ke Sumatra
tahun 1286.
Dara Petak pandai mengambil hati Raden Wijaya
sehingga ia dijadikan sebagai Istri tinuheng pura, atau istri yang
dituakan di istana. Padahal menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya sudah
memiliki empat orang istri, dan semuanya adalah putri Kertanegara.
Pengangkatan Dara Petak sebagai istri tertua mungkin karena hanya
dirinya saja yang melahirkan anak laki-laki, yaitu Jayanegara. Sedangkan
menurut Nagarakretagama, ibu Jayanegara bernama Indreswari. Nama ini
dianggap sebagai gelar resmi Dara Petak.
Pararaton menyebutkan
Raden Wijaya hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja.
Pemberitaan tersebut terjadi sebelum Majapahit berdiri. Diperkirakan,
mula-mula Raden Wijaya hanya menikahi Tribhuwaneswari dan Gayatri saja.
Baru setelah Majapahit berdiri, ia menikahi Mahadewi dan Jayendradewi
pula. Dalam Kidung Harsawijaya, Tribhuwana dan Gayatri masing-masing
disebut dengan nama Puspawati dan Pusparasmi.
Masa Pemerintahan
Raden Wijaya/ Sri Rajasa Jayawardhana: Setelah Raden Wijaya menjadi Raja
Majapahit, beliau kemudian mengangkat pengikut-pengikutnya yang berjasa
dalam perjuangan mendirikan Majapahit menjadi pejabat tinggi dalam
pemerintahan menurut Serat Kekancingan Kadadu 1294 antara lain :
Aria
Wiraraja menjadi Rakyan Mahamantri Agung diberi daerah status khusus
(Madura) dan diberi wilayah otonom di Lumajang hingga Blambangan
Nambi diangkat menjadi Rakryan Mapatih (Perdana menteri)
Ranggalawe menjadi Rakyan Mahamantri Agung diangkat sebagai Adipati Tuban
Sora menjadi patih Daha (Kadiri).
Struktur brirokrasi pejabat KerajaanMajapahit pada masa Raja Kertarajasa ( Prasasti Pananggungan 1296 Saka).
1. Mahamantri Katrini
Rakyan Menteri Hino : Dyah Pamasi
Rakyan Menteri Halu : Dyah Singlar
Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Palisir
2. Sang Panca Wilwatika
Rakyan Patih Majapahit : Empu Tambi
Rakyan Demung : Empu Renteng
Rakyan Kanuruhan : Empu Elam
Rakyan Rangga : Empu Sasi
Rakyan Tumenggung : Empu Wahan
3. Patih Negara Bawahan
Rakyan Patih Daha : Empu Sora
Rakyan Demung Daha : Empu Rakat
Rakyan Rangga Daha : Empu Dipa
Rakyan Tumenggung Daha : Empu Pamor
4. Pejabat Hukum dan Keagamaan
Pranaraja menjadi Rakyan Mahamantri Agung
Dang Acarya Agraja menjadi Dharmadyaksa Kasaiwan
Dang Acarya Ginantaka menjadi Dharmadyaksa Kasogatan
Panji Paragata menjadi Pemegat Tirwan
Dang Acarya Anggaraksa sang Pemegat di Pamotan
Dang Acarya Rudra sang Pemegat di Jambi
Raden
Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman,
susunan pemerintahannya mirip Singhasari, karena Majapahit adalah
‘EMBRIO’ SINGASARI – namun ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga
dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi
kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang
sampai Blambangan.
Majapahit merupakan negara agraris dan
sekaligus negara perdagangan. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk
mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota
kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa. Raja
dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan,
dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi.
Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya,
antara lain
Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Kabinet
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting
yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat
dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut
melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula
semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara
raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Dharmaputra adalah suatu
jabatan yang dibentuk oleh Raden Wijaya Anggotanya berjumlah tujuh
orang, yaitu Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak,
dan Ra Pangsa, yang semuanya tewas sebagai pemberontak pada masa
pemerintahan Jayanegara (raja kedua Majapahit). Namun Tidak diketahui
dengan pasti apa tugas dan wewenang Dharmaputra. Pararaton hanya
mengatakan kalau para anggota Dharmaputra disebut sebagai pengalasan
wineh suka, yang artinya pegawai istimewa. Dikisahkan mereka diangkat
oleh Taden Wijaya dan tidak diketahui lagi keberadaannya setelah tahun
1328.
Para Pejabat Majapahit masing masing diberi gelar sesuai jabatan yang diembannya -
Golongan RakyanMahamantri Katrini
Rakryan Mahamantri Hino,
Rakryan Mahamantri Sirikan
Rakryan Mahamantri halu
Pasangguhan/ hulubalang yang terdiri dari 2 yaitu Pranaraja dan Nayapati.
Sang Panca Wilwatika lima pembesar yang diserahi tugas untuk menjalankan pemerintahan Majapahit:
Patih Amangkubumi,
Patih Demung,
Patih Kanuruhan,
Patih Rangga dan
Patih Tumengggung.
Juru Pangalasan yaitu pembesar wilayah mancanagara.
Narapati Negara Negara bawahan.
Golongan
Arya: kedudukan lebih rendah dari Rakyan, namun jasa jasanya seorang
dihormati dengan gelar Wreddhamantri atau Menteri Sepuh.
Dang Acarya diperuntukkan bagi para pendera Siwa dan Budha bergelar Dharmmaddyaksa atau hakim tinggi.
Pembagian
wilayah: Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah,
yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau
kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan,
upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Prasasti
Wingun Pitu (1447 M) menyebut bahwa pemerintahan Majapahit dibagi
menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar
Bhre:
1. Daha
2. Jagaraga
3. Keling
4. Kabalan
5. Kahuripan
6. Matahun
7. Kembang jenar
8. Tumapel
9. Wirabumi
10. Kelinggapura
11. Tanjungpura
12. Singhapura
13. Pajang
14. Wengker
Peristiwa penting yang terjadi dalam masa pemerintahan Raden Wijaya/ Sri Rajasa Jayawarhana:
Piagam
Kudadu disebutkan bagaimana watak Raden Wijaya sebagai panglima perang
yang menunaikan tugas dari Raja Kertanagara. Dalam pengabdiannya ia
menunjukkan kedisiplinan serta kesetian kepada perintah yang diberikan
dan menunaikan tugas tiada tercela. Demikian pula terhadap teman teman
seperjuangannya Raden wijaya memberikan kedudukan yang tinggi kepada
para pengikutnya sesuai dengan jasa yang selama masa perjuangan. Namun
rasa keadilan bagi masing – masing orang berbeda beda. Setelah Raden
Wijaya dinobatkan sebagai Raja timbullah rentetan ketiadakpuasan
diantara pengikut pengikutnya.
Peristiwa Ranggalawe ( 1295 ):
Ranggalawe
/ Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara./ Arya Adikara adalah salah
satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan
mendirikan Majapahit, namun meninggal sebagai pemberontak pertama pada
tahun 1295. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut
Ranggalawe sebagai putra Arya Wiraraja bupati Sumenep. Ia sendiri
tinggal di Tanjung, yang terletak di Madura sebelah barat. Pertemuan
pertama dengan Raden Wijaya terjadi ketika Ranggalawe diutus oleh
ayahnya yaitu Arya Wiraraja yang menjabat sebagai Bupati Madura untuk
mengantar Tribhuwaneswari dari Sumenep ke Majapahit bersama Banyak Kapuk
dan Mahesa Pawagal utusan Raden Wijaya . Ranggalawe mempunyai watak
yang agak grasa grusu, bicaranya lantang namun mempunyai kelebihan dalam
hal menyusun siasat perang dan dalam pertempuran ia adalah seorang
pemberani dan ahli menggunakan senjata.
Namun dibalik sifatnya
yang kasar, Ranggalawe adalah seseorang yang berani, jujur dan mempunyai
tekat besar yaitu berani mempertaruhkan jiwanya untuk membela Raden
Wijaya Ranggalawe kemudian membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik
menjadi desa Majapahit. Nama Ranggalawe sendiri merupakan pemberian
Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari Wenang, yang berarti benang,
atau juga berarti kekuasaan. Maksudnya ialah, Ranggalawe diberi
kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut.
Selain itu Ranggalawe juga menyediakan 27 ekor kuda dari Bima sebagai
kendaraan perang Raden Wijaya dan para pembantunya untuk menghadapi
Jayakatwang di Kadiri. Penyerangan ke Kadiri terjadi tahun 1293,
Ranggalawe berada dalam gabungan pasukan Majapahit dan Mongol yang
menggempur benteng timur kota Kadiri. Pemimpin benteng bernama Sagara
Winotan, mati dipenggal Ranggalawe.
Setelah Kadiri runtuh, Raden
Wijaya menjadi raja pertama Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas
jasa-jasanya, Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan
pelabuhan utama Jawa Timur saat itu. Prasasti Kudadu (1294) yang memuat
daftar nama para pejabat awal Majapahit, ternyata tidak mencantumkan
nama Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja.
Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun
Prasasti Kudadu menyebutkan dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua
orang yang berbeda.
Slamet Muljana dalam bukunya, Menuju Puncak
Kemegahan (1965), mengidentifikasi nama Arya Adikara sebagai nama lain
Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah
dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya
Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika diangkat
sebagai pejabat Majapahit. Dalam Prasasti Kudadu, ayah dan anak
tersebut menjabat sebagai pasangguhan. Masing-masing bergelar Rakryan
Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya
Adikara.
Kisah pemberontakan Ranggalawe yang merupakan perang
saudara pertama di Majapahit disebutkan dalam Pararaton terjadi tahun
1295, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Ranggalawe. Pemberontakan
itu dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi
sebagai rakryan patih Majapahit. Menurut Ranggalawe, jabatan patih
sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih cakap
dan berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi.
Ranggalawe juga
mendapat hasutan dari tokoh licik bernama Mahapati sehingga ia nekad
menghadap Raden Wijaya di ibu kota menuntut penggantian Nambi oleh Lembu
Sora, namun Lembu Sora justru tetap mendukung Nambi.
Setelah
menghina dan merendahkan nama Nambi dihadapan Raden Wijaya akhirnya
Ranggalawe menantang Nambi untuk mengadu senjata, mendengar tantangan
tersebut Nambi menjadi marah sehingga pertengkaran mulutpun tak
terhindarkan diantara kedua belah pihak. Semua menteri yang hadir
termasuk Kebo Anabrang (Panglima pasukan Singhasari dalam Ekspedisi
Pamalayu) tidak bisa menyembunyikan kemarahan akibat perbuatan
Ranggalawe yang dianggap melanggar tata krama di hadapan Sang Prabu
Kertarajasa (Raden Wijaya) dan menantang untuk mengadu senjata.
Karena
tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe kemudian membuat kekacauan di
halaman istana. Lembu Sora sebagai pamannya keluar menasihati Ranggalawe
yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada Raja.
Ranggalawe mengakui kesalahannya bahwa ia telah berbuat terlalu lancang
dan sebagai hukumannnya ia minta untuk dibunuh saja. Sora tidak memenuhi
permintaan keponakannya dan menasehatinya untuk mengingat segala
kebaikan Prabu Kertarajasa dimana Ranggalawe diberikan kebebasan untuk
keluar masuk Istana siang maupun malam. Mendengar nasehat tersebut
akhirnya Ranggalawe memilih pulang ke Tuban.
Mahapati kemudian
ganti menghasut Nambi dengan mengatakan kalau Ranggalawe sedang menyusun
pemberontakan. Maka berangkatlah Nambi atas izin raja, memimpin pasukan
menyerang Tuban. Dalam pasukan itu ikut serta Lembu Sora dan Kebo
Anabrang. Dalam Kidung Ranggalawe diketahui bahwa Arya Wiraraja yang
merupakan ayah dari Ranggalawe menetap di Tuban, ketika mendengar
putranya telah pulang dari Majapahit ia langsung menemuinya. Dari
tingkah laku putranya Arya Wiraraja menangkap sesuatu yang tidak baik
akan terjadi kepada anaknya. Arya Wiraraja kemudian menanyakan apa yang
telah terjadi ketika menghadap sang Prabu. Ketika mendengar penjelasan
yang disampaikan putranya, Arya Wiraraja terdiam dan hatinya makewuh
mana yang harus dipilih cinta kepada anak atau setia kepada Sang Prabu.
Arya
Wiraraja kemudian menasehati anaknya untuk tetap setia kepada sang
prabu karena berkhianat akan mempunyai akibat yang sangat berat baik
diakhirat maupun dalam kelahiran kembali. Mendengar nasehat ayahnya
Ranggalawe terdiam dan mengakui kesalahannya, namun darah kesatria yang
mengalir dalam dirinya mengharamkan bagi dirinya untuk mundur dan
keperwirayudaan tersebut akan dipertahankan sampai mati.
Setelah
Nasehatnya tidak didengar oleh putranya, Arya Wiraraja kemudian
memanggil para Menteri, Kepala desa, Akuwu dan Demang untuk
mempersiapkan pasukan untuk menghadapi serangan dari Majapahit. Mereka
mengharapkan agar Nambilah yang nantinya memimpin pasukan dari Majapahit
karena Nambilah orang yang paling mereka cari.
Para pengikut
Ranggalawe didaerah Majapahit kemudian meninggalkan daerahnya menuju
daerah Tuban, namun ketika mereka hendak menyeberangi sungai Tambak
beras, air sungai sedang pasang sehingga mereka dapat disusul oleh
pasukan dari Majapahit dibawah pimpinan Nambi. Mereka semua akhirnya
dapat dihancurkan oleh Pasukan dari majapahit.
Hari hari
berikutnya pagi pagi sekali pasukan dari Majapahit menyeberangi sungai
Tambak Beras untuk mencapai Tuban. Mantri Gagarangan dan Tambak Baya
dari Tuban memberitahukan kepada Ranggalawe bahwa pasukan Majapahit
telah tiba dan segera Ranggalawe memerintahkan pasukannya untuk
menyerang pasukan dari majapahit.
Mendengar datangnya serangan,
Ranggalawe segera mempersiapkan pasukannya. Kidung Ranggalawe
menyebutkan nama istri Ranggalawe adalah Martaraga dan Tirtawati.
Mertuanya adalah gurunya sendiri, bernama Ki Ajar Pelandongan. Dari
Martaraga lahir seorang putra bernama Kuda Anjampiani. Ranggalawe
kemudian mohon pamit kepada istrinya untuk menghadapi pasukan dari
Majapahit. Martaraga berusaha mencegah kepergian suaminya karena
mempunyai firasat bahwa sesuatu yang tidak baik akan menimpa suaminya.
Oleh mertuanya sendiri yaitu Ki Ajar Pelandongan, Ranggalawe juga
dibujuk agar mengurungkan niatnya untuk maju kemedan pertempuran namun
sekali lagi bujukan tersebut tidak dihiraukan oleh Ranggalawe.
Ranggalawe
kemudian terjun ke medan pertempuran melawan pasukan dari Majapahit, ia
bertemu dengan orang yang diharap harapkan yaitu Patih Nambi. Patih
Nambi mengendarai kuda Brahma Cikur sedangkan Ranggalawe mengendai kuda
Mega Lamat. Pertempuran kedua orang tersebut berjalan dengan hebatnya.
Akhirnya kuda Brahma Cikur berhasil ditikam oleh Ranggalawe namun Patih
Nambi berhasil mengelak dan lari menyelamatkan diri kearah selatan.
Ranggalawe bersama pasukannya kemudian melakukan pengejaran sampai di
sungai Tambak Beras.
Ranggalawe berniat untuk menyeberangi sungai
Tambak beras namun ditahan oleh para pengikutnya karena daerah
diseberang sungai adalah wilayah Majapahit, lagi pula belum semua
kekuatan tentara Majapahit dikerahkan ke medan perang, Ranggalawe
akhirnya menurut. Pertempuran antara pasukan Majapahit dibawah Pimpinan
Nambi dengan pasukan Ranggalawe terjadi didaerah Tosan, Kidang Glatik,
Siddi, Cek Muringgang dan klabang curing berakhir sampai malam hari.
Berita
kekalahan pasukan dari Majapahit kemudian disampaikan Hangsa Terik ke
hadapan Raden Wijaya. Betapa kecewanya Raden Wijaya mendengar kabar
tersebut dan bersumpah akan membumihanguskan Kota Majapahit jika tidak
berhasil mengalahkan Ranggalawe. Segera beliau mengirim Kala Angerak,
Setan Kobar, Buta Angasak dan Juru Prakasa untuk memulihkan kembali
kekuatan pasukan dari Majapahit yang telah tercerai berai dan
menyelidiki sampai dimana kekuatan musuh.
Sementara keberangkatan
10.000 pasukan tambahan dari Majapahit telah dipersiapkan dipimpin
sendiri oleh Prabu Kertarajasa, beliau mendapat laporan dari 4 orang
mata mata yang dikirim ke medan pertempuran tentang kekuatan pasukan
dari Ranggalawe. Akhirnya pertempuran pasukan tambahan yang dipimpin
oleh Prabu kertarajasa dengan pasukan dari Ranggalawe berkobar kembali,
pertempuran berjalan dengan sengit dimana korban berjatuhan diantara
dikedua belah pihak. Sementara itu untuk menghindari makin banyaknya
korban yang berjatuhan , Sora minta ijin kepada Prabu Kertarajasa untuk
menghadapi Ranggalawe. Prabu Kertarajasa mengijinkan, akhirnya
Ranggalawe dikepung dari tiga arah yaitu Kebo Anabrang dari arah timur,
Gagak Sarkara dari arah barat dan Majang Mekar dari arah utara
Perkelahian
sengit kemudian terjadi dari arah timur dimana kebo Anabrang terlibat
pertempuran dengan Ranggalawe. Kuda tunggangan kebo Anabrang berhasil
dilumpuhkan oleh Ranggalawe namun penunggannya berhasil menyelamatkan
diri. Hari selanjutnya untuk kedua kalinya kembali Kebo Anabrang
terlibat pertempuran dengan Ranggalawe. Pertempuran ini terjadi di
seberang sungai Tambak Beras. Pertempuran berjalan dengan hebatnya
dimana masing masing kedua belah pihak mengeluarkan ilmu kesaktiannya
untuk melumpuhkan lawannya. Pertempuran kemudian dilanjutkan di dalam
air dimana Ranggalawe berhasil mendesak kebo anabrang sampai ketengah
sungai namun dengan sigap berhasil menikam kuda tunggangan Ranggalawe.
Didalam
kidung Ranggalawe dikisahkan bahwa ikan ikan berlompatan dan air
muncrat bagaikan hujan akibat perang tanding diantara kedua tokoh
tersebut. Mereka bergulat, saling banting didalam air berusaha
menenggelamkan lawannya. Sampai akhirnya Ranggalawe terpeleset dari batu
tempat berpijaknya sehingga hal tersebut berhasil dimanfaatkan oleh
Kebo Anabrang untuk menenggelamkannya di dalam air. Kepalanya terpiting
dibawah ketiak Kebo Anabrang. Ranggalawe kehabisan napas dan mati lemas.
Melihat
keponakannya mati ditangan Kobo Anabrang secara mengenaskan hati Sora
menjadi panas sehingga dengan serta merta melompat ke dalam sungai untuk
menikam Kebo Anabrang dengan keris dari belakang. Keris tersebut tembus
sampai ke dada, mayat Kebo Anabrang kemudian mengapung diatas sungai.
Pembunuhan terhadap rekan sepasukan inilah yang kelak menjadi penyebab
kematian Lembu Sora tahun 1300. Demikianlah akhir hidup Ranggalawe dan
Kebo Anabrang yang sama sama tewas di sungai Tambak Beras.
Jenasah
Ranggalawe dan Kebo Anabrang kemudian dibawa ke Majapahit untuk
diupacarakan secara terhormat , mengingat jasa besar kedua tokoh
tersebut. Ranggalawe adalah seorang pahlawan pemberani yang siap
mengorbankan seluruh jiwa raganya pada masa awal pembentukan Majapahit,
sedangkan Kebo Anabrang adalah Panglima pasukan Singhasari yang sukses
menaklukkan Melayu pada jaman pemerintahan Prabu Kertanagara yang
terkenal dengan Ekspedisi Pamalayu Tahun 1275. Kisah pemberontakan
Ranggalawe tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Hal itu dapat
dimaklumi mengingat Nagarakretagama merupakan kitab pujian tentang
kebesaran Majapahit. Ranggalawe terkenal sebagai pahlawan, sehingga
diperkirakan Mpu Prapanca tidak tega mengisahkan kematiannya sebagai
pemberontak.
Ranggalawe gugur tahun 1295, Arya Wiraraja merasa
sakit hati dan memutuskan untuk menghadap Prabu Kertarajasa untuk
mengundurkan diri dari jabatannya dan menagih sang prabu semasa
perjuangan, yaitu membagi wilayah kerajaan menjadi dua. Janji tersebut
kemudian dipenuhi oleh Prabu kertarajasa sehingga kemudian memutuskan
membagi wilayah kerajaan menjadi dua :
Bagian Timur terus
keselatan sampai pantai diserahkan kepada Arya Wiraraja kemudian menjadi
raja dengan ibukota Lumajang dan Bagian Barat masih dikuasai oleh Raja
Kertarajasa dengan Ibukota Majapahit.
KADATON WETAN
Majapahit
timur merupakan Negara merdeka dan lepas dari kekuasaan Majapahit.
Karena itu bagi masyarakat Tuban, tokoh Ronggolawe bukanlah pemberontak,
tetapi pahlawan keadilan. Sikapnya memprotes pengangkatan Nambi, karena
figur Nambi kurang tepat memangku jabatan setinggi itu. Nambi tidak
begitu besar jasanya terhadap Majapahit. Masih banyak orang lain yang
lebih tepat seperti Lembu Sora, Dyah Singlar, Arya Adikara, dan tentunya
dirinya sendiri. Ronggolawe layak menganggap dirinya pantas memangku
jabatan itu. Anak Bupati Sumenep Arya Wiraraja ini besar jasanya
terhadap Majapahit. Ayahnya yang melindungi Kertarajasa Jayawardhana
ketika melarikan diri dari kejaran Jayakatwang setelah Kerajaan Singsari
jatuh (Kertarajasa adalah menantu Kertanegara, Raja Singasari
terakhir).
Ronggolawe ikut membuka Hutan Tarik yang kelak menjadi
Kerajaan Majapahit. Dia juga ikut mengusir pasukan Tartar maupun
menumpas pasukan Jayakatwang. Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe adalah
korban konspirasi politik tingkat tinggi. Penyusun skenario sekaligus
sutradara konspirasi politik itu adalah Mahapati, seorang pembesar yang
berambisi menjadi patih amangkubumi
Peristiwa Ken Sora/ Andaka Sora:
Lembu
Sora atau Mpu Sora atau Ken Sora atau Andaka Sora adalah salah satu
pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam berdirinya Kerajaan
Majapahit, namun mati sebagai pemberontak pada tahun 1300. Peristiwa
sejarah ini terdapat dalam Kidung Sorandaka artinya Andaka Sora atau
Lembu Sora.
Pararaton menyebut Sora sebagai abdi Raden Wijaya
yang paling setia. Ia mengawal Raden Wijaya saat menghindari kejaran
pasukan Jayakatwang tahun 1292, di mana ia menyediakan punggungnya
sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya saat beristirahat, serta
menggendong istri Raden Wijaya saat menyeberangi sungai dan rawa-rawa.
Pada
tahun 1293 Raden Wijaya dibantu pasukan Mongol menyerang Jayakatwang di
Kadiri. Dalam perang itu, Sora menggempur benteng selatan dan berhasil
membunuh Patih Kadiri Kebo Mundarang. Menurut Pararaton, setelah
kemenangan tersebut, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit. Lembu
Sora diangkat sebagai Rakryan Patih Daha, atau patih bawahan di Kadiri.
Keputusan tersebut memicu pemberontakan Ranggalawe tahun 1295.
Menurut
Ranggalawe, Lembu Sora lebih pantas menjabat sebagai Rakryan Patih
Majapahit dari pada Nambi. Meskipun Ranggalawe adalah keponakan Sora,
namun Sora justru mendukung Raden Wijaya supaya tetap mempertahankan
Nambi sebagai patih Majapahit.
Dalam peristiwe pemberontakan
Ranggalawe, Sora bertindak sebagai penasehat raja, dimana Sora
memberikan nasehat kepada raja agar jangan sekali kali menuruti apa
kemauan Ranggalawe serta dalam pertempuran bertindak sebagai senapati
yang memberikan perintah untuk mengepung Ranggalawe dari 3 arah. Siasat
ini berhasil pemberontakan Ranggalawe dapat dipadamkan. Berdasarkan
fakta tersebut sudah sepantasnya Sora menjadi abdi kesayangan Raden
Wijaya dan menduduki posisi yang terhormat dalam masa pemerintahan Raden
Wijaya. Namun dalam perjalanan hidupnya selalu ada rintangan, ada yang
iri hati dengan mengungkapkan segala kekurangan yang ia miliki kehadapan
sang prabu.
Sebagai mana yang kita ketahui bahwa Mahapati
sebagai Menteri mempunyai ambisi yang sangat besar untuk menduduki
posisi sebagai Patih Amangkubumi Majapahit, Pada saat itu yang menduduki
posisi tersebut adalah patih Nambi, namun untuk mencari kesalahan yang
mengakibatkan jatuhnya kedudukan Nambi belum berhasil. Salah seorang
tokoh yang mempunyai hubungan erat dengan sang Prabu dan berpengaruh
besar yaitu Sora. Andaikata Nambi jatuh maka calon utama penggantinya
pastilah Lembu Sora.
Demikianlah menurut rencananya Lembu Sora
harus disingkirkan terlebih dahulu, untuk tujuan tersebut ia memperoleh
tuduhan yang jitu yaitu pembunuhan Kebo Anabrang yang merupakan rekan
sepasukan dalam peristiwa pemberontakan Ranggalawe. Sebelum menjalankan
siasatnya Mahapati berusaha bersahabat dengan para Menteri lainnya
sehingga ia dapat menjadi orang kepercayaan sang Prabu Kertarajasa.
Pembunuhan
terhadap rekan sepasukan tersebut baru diungkit tahun 1300. Mahapati
menghadap Raden Wijaya dan menceritakan bahwa para Menteri tidak puas
dengan sikap sang Prabu terhadap Lembu Sora. Ketidakpuasan tersebut
semakin meningkat karena seolah olah sang prabu membenarkan tindakan
Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang. Rupanya keluarga Kebo Anabrang segan
menuntut hukuman karena Sora adalah abdi kesayangan Raden Wijaya.
Suasana itu dimanfaatkan oleh Mahapati, seorang tokoh licik yang
mengincar jabatan patih. Ia menghasut putra Kebo Anabrang yang bernama
Mahisa Taruna supaya berani menuntut Sora. Ia juga menghasut Raden
Wijaya bahwa para menteri resah karena raja seolah-olah melindungi
kesalahan Sora.
Raden Wijaya tersinggung dituduh tidak adil. Ia
pun memberhentikan Lembu Sora dari jabatannya untuk menunggu keputusan
selanjutnya. Mahapati pura pura mencegah tindakan sang Prabu yang serta
merta tersebut dan memberi nasehat agar sang prabu mencari kesempatan
yang baik untuk menyingkirkan Lembu Sora. Mahapati mengusulkan agar
Lembu Sora jangan dihukum mati mengingat jasa-jasanya yang sangat besar.
Raden Wijaya memutuskan bahwa Sora akan dihukum buang ke Tulembang.
Yakinlah Mahapati bahwa sekaranglah saatnya untuk menyingkirkan Lembu
Sora.
Mahapati menemui Sora di rumahnya untuk menyampaikan
keputusan raja. Sora sedih atas keputusan itu. Ia berniat ke ibu kota
meminta hukuman mati dari pada harus diusir dari tanah airnya. Mahapati
kemudian menghasut Nambi bahwa sang prabu telah mengambil keputusan
untuk membebaskan Sora dari Tugasnya dan menggantinya dengan Mahesa
Taruna (anak dari Kebo Anabrang). Terpikat oleh uraian yang disampaikan
Mahapati, Patih Nambi kemudian menyiapkan orang orangnya untuk menghadap
sang Prabu. Dengan tegas dikemukakannnya bahwa Lembu Sora yang telah
membunuh Kebo Anabrang secara licik dan kejam harus mendapat hukuman
yang setimpal, juga para menteri yang terkena hasutan Mahapati sepakat
bahwa Lembu Sora harus mendapat hukuman akibat dari perbuatannya.
Mahapati
yang pandai menjalankan peranannya sekali lagi mengunjungi kediaman
Lembu sora, dikatakannya bahwa ia telah berusaha keras untuk mencegah
hukuman tersebut namun tidak berhasil, lagipula Nambi telah menyiapkan
pasukannya. Sementara itu telah diputuskan mengingat jasa jasanya, Lembu
Sora tidak akan dijatuhi hukuman mati tetapi di hukum buang ke
Tulembang. Keputusan tersebut disampaikan langsung utusan Prabu
kertarajasa dari Majapahit. Sora menolak keputusan tersebut, ia lebih
baik mati daripada harus dihukum buang. Raja Kertarajasa masih cukup
sabar menerima keputusan Nambi tersebut dan menyesalkan konflik yang
telah terjadi antara dirinya dengan Lembu Sora yang merupakan abdi
kesayangannya..
Mahapati pura pura membela Sora dan mengusulkan
agar sang Prabu memberikan peringatan secara tertulis kepada Sora dan
menunggu jawabannya. Segera Sang prabu mengutus Mahapati untuk
menyampaikan surat tersebut langsung kepada Lembu Sora yang isinya bahwa
menurut kitab Undang undang Kutaramanawa , Sora harus dihukum mati,
namun dibebaskan dari hukuman tersebut dan sebagai gantinya ia akan di
pindahkan ke Tulembang. Kutaramanawa yaitu kitab perundang undangan pada
jaman Majapahit yang isinya menekankan susunan masyarakat yang terdiri
dari empat warna demi kebaikan masyarakat. Kitab tersebut sekarang
disimpan di Leiden Belanda.
Setelah membaca surat tersebut, Lembu
Sora kemudian menyampaikan jawabannya bahwa ia masih menaruh cinta
bakti kepada sang prabu dan akan menyerahkan jiwa dan raganya ke hadapan
sang Prabu. Ia tidak akan membantah sekalipun akan diserahkan kepada
Kebo Taruna. Lembu Sora merencanakan untuk menghadap langsung ke hadapan
sang prabu. Mahapati yang mengingikan kematian Lembu Sora belum puas
akan penyerahan jiwa raga yang disampaikan oleh Lembu Sora melaporkan
kepada sang Prabu bahwa Lembu Sora tidak menerima keputusan tersebut dan
akan datang untuk membuat kekacauan karena tidak puas atas hukuman
raja.
Setelah mendesak raja, Nambi pun diizinkan menghadang Sora
yang datang bersama Gajah Biru dan Juru Demung. Maka terjadilah
peristiwa di mana Sora dan kedua sahabatnya mati dikeroyok tentara
Majapahit. Siasat Mahapati. Kematian Sora pada tahun 1300 diceritakan
singkat dalam Pararaton, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung
Sorandaka.
Berbeda dengan kisah dalam Kidung Sorandaka di atas,
Pararaton menyebut kematian Juru Demung terjadi pada tahun 1313,
sedangkan Gajah Biru pada tahun 1314. Keduanya tewas sebagai pemberontak
pada pemerintahan Jayanegara putra Raden Wijaya.
Wafatnya Raden Wijaya
Raden
Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanagara. Raden Wijaya
dimakamkan dalam dua tempat, yaitu dalam bentuk Jina (Budha) di Antapura
dalam kota Majapahit dan dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Simping (dekat
Blitar) yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di candi
Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudan nya Harihara,
berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca. Masa akhir pemerintahan ayahnya,
masa pemerintahan raja Jayanagara banyak dirongrong oleh pemberontakan
orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan
Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak
pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan.
(Ilmu Warisan Leluhur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar